Implementasi Sains Dan Teknologi Untuk Mendukung Kemandirian Alutsista TNI Pada Era Revolusi Industri 4.0

PENGANTAR ILMIAH NARASUMBER

 

IMPLEMENTASI SAINS DAN TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN ALUTSISTA TNI PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

oleh

Direktur Teknologi PT.Dirgantara Indonesia

Marsma TNI Dr. Ir. Gita Amperiawan, M.Sc., M.B.A.

 

Filosofi kemandirian industri pertahanan di Indonesia yaitu diawali dengan Revolution in Military Affairs (RMA) dimana terdapat keterbatasan akses teknologi industri pertahanan untuk negara non blok. Keterbatasan akses tersebut mendorong negara-negara non blok untuk melakukan kemandirian dalam industri pertahanan. Sesuai UU nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, bahwa kemandirian industri pertahanan harus mampu merespon perkembangan teknologi pertahanan dan keamanan. Berkaitan dengan kemandirian industri pertahanan, Pemerintah melalui Sasaran Kebijakan Pertahanan Negara tahun 2018 mendukung pengintegrasian pembangunan industri pertahanan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta transfer teknologi melalui kerjasama antar lembaga. Salah satu dari 5 poin kebijakan pertahanan negara adalah mewujudkan industri pertahanan yang kuat, mandiri dan berdaya saing, dengan indikator pencapaian berupa terwujudnya industri strategis nasional guna mendukung pertahanan, terwujudnya industri pertahanan guna pemenuhan peralatan pertahanan dan menunjang ekonomi nasional, serta terwujudnya penguasaan teknologi dan kualitas SDM yang mendukung industri pertahanan.

Saat ini dunia telah mencapai era revolusi industry 4.0 dengan ciri digitalisasi berupa otomasi dan pertukaran data. Aplikasi digitalisasi pada revolusi industri 4.0 tampak pada aplikasi autonomous robots, big data, augmented reality, additive manufacturing, cloud computing, cyber security, internet of things, system integration serta simulation. Adanya revolusi industri 4.0 memunculkan tantangan-tantangan baru bagi industri, mulai perencanaan, konsep, desain, validasi produksi serta layanan purna jual. Contoh tantangan tersebut diantaranya penambahan fungsional produk, lebih banyak piranti lunak dan komponen elektronik pada produk, perilaku konsumen dan sebagainya.

Industri pertahanan merupakan salah satu dari industri strategis di lingkup nasional. Posisi industri pertahanan pada komponen pertahanan udara adalah sebagai komponen pendukung bagi komponen utama (TNI) dan komponen cadangan (warganegara dan sumber daya). Definisi industri pertahanan menurut UU nomor 16 Tahun 2012, adalah industri nasional yang terdiri atas BUMN dan BUMS baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan kemanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah NKRI. Tingkatan industri pertahanan antara lain industri bahan baku, industri komponen utama/penunjang, industri komponen/pendukung dan industri alat utama. Salah satu indutri alat utama di Indonesia adalah PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

PT DI memiliki visi menjadi market leader pesawat terbang kelas menengah dan ringan serta menjadi acuan industri kedirgantaraan di wilayah Asia Pasifik dengan mengoptimalkan kompetensi industri dan komersial. Bidang kerja PT DI mencakup kegiatan-kegiatan dalam bidang manufaktur pesawat terbang, perawatan pesawat terbang, aerostruktur dan pengembangan teknologi. Pada kurun waktu tahun 1976 hingga 2019, PT DI telah menjual 186 pesawat fixed wing dan 251 pesawat rotary wing. Arah strategis PT DI tahun 2018 hingga 2022 meliputi pengembangan dan penjualan pesawat-pesawat CN235, NC212i, CN295, C219 dan helikopter yang diakhiri investasi pengembangan pesawat N245. Karakteristik industri dirgantara seperti pada PT DI meliputi 4 aspek, meliputi Global Supply Chain, Geographically Distributed, High Tech Industry, dan High Capital and Support. Sedangkan Kawasan industri di PT DI harus memenuhi karakteristik geografi (infrastruktur, SDM, akses penelitian dan pengembangan, luas lahan, lokasi starategis) dan karakteristik non geografi (dukungan kebijakan dan modal dari pemerintah pusat dan daerah).

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan topografi pegunungan, sehingga moda angkutan udara menjadi sarana wajib sebagai penghubung antardaerah. Dengan adanya angkutan udara, tercipta konektivitas dan pemerataan pembangunan serta akses ke daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). PT DI menawarkan moda transportasi udara berupa pesawat N219 dengan berbagai keunggulan spesifikasi, operasi, dan harga yang terjangkau. Berdasarkan kebutuhan penerbangan perintis di Indonesia, total potential market untuk pesawat N219 sebanyak 235 unit pada tahun 2019 sampai dengan 2029.

Selain penjualan dan pengembangan pesawat angkut kelas menengah, PT DI tengah melaksanakan program pengembangan pesawat tempur KF-X/IF-X Joint Development Republik Indonesia dan Republik Korea Selatan. Nilai tambah yang diperoleh Republik Indonesia dari program kerjasama ini antara lain partisipasi Indonesia 20 persen berupa SDM dan pembuatan komponen prototip wing dan tail termasuk pylon. Selain itu ada transfer teknologi, 1 unit pesawat prototip dan dokumentasi lengkap tentang desain, pengujian, manufaktur hingga pelatihan. Dalam aspek strategis RI, ada beberapa keuntungan yang didapat antara lain peningkatan kapabilitas dalam desain, produksi hingga perawatan pesawat tempur TNI AU, sehingga RI mampu mandiri dalam High End Technology serta bisa menghemat biaya dalam perawatan dan upgrading.  Keuntungan lain yang didapat adanya nilai ekonomis berupa penambahan lapangan kerja dan wawasan teknologi pesawat tempur, efek gertak (detterence) serta global supply chain (ketersediaan bahan baku murah). Secara umum, Technology Readiness Level (TRL) level 9 (Actual proven through mission operation) pada pengembangan KF-X/IF-X  kerjasama PT DI dan KAI dapat tercapai.

Dalam rangka menerapkan revolusi industri 4.0 di Indonesia, industri manufaktur harus kokoh sehingga tercapai peningkatan kemampuan SDM dan industri nasional serta sinergi antara lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan industri. Indonesia memiliki potensi mencapai 10 besar tingkat ekonomi dunia pada tahun 2030 karena didukung pertumbuhan ekonomi tinggi, penurunan angka kemiskinan dan peningkatan investasi. Saat ini tingkat kesiapan Indonesia dalam memasuki era industri 4.0 ada pada peringkat 45 dunia dan peringkat 4 ASEAN. Kondisi ini memunculkan tantangan pengembangan SDM di Indonesia, dimana global competitiveness index masih pada peringkat 45 dari 140 negara, serta masih terdapat 8,8 persen sarjana yang belum mendapat pekerjaan.

Presiden RI memiliki kebijakan paradigma transformatif dari triad people-process-technology dengan manajemen pengetahuan menjadi SDM unggul dengan karakter yang memiliki optimisme semangat bela negara. Terkait ekosistem industri penerbangan nasional, instansi-instansi lembaga penelitian, lembaga pendidikan dan industri pertahanan harus saling bersinergi menuju industri pertahanan 4.0. Resultan dari bonus demografi, inovasi dan kecepatan proses menghasilkan transformasi SDM unggul yang inovatif dan berkarakter. Inovasi penting karena dapat meningkatkan daya saing, menciptakan keunggulan kompetitif, serta menggerakkan pembangunan dan makro ekonomi jangka panjang, sehingga mampu menggerakkan ekosistem industri dan mengembangkan kemandirian.

PT DI memiliki peluang dan tantangan guna mencapai kemandirian sebagai berikut: Teknologi dan SDM sebagai unsur penting daya saing; Penciptaan ekosistem inovasi; serta Perlu penciptaan wahana transformasi (N219, KFX/IFX). Contoh penerapan officelink, kolaborasi PT DI dan universitas yang potensial untuk kerjasama penelitian serta pengembangan di sekitar Bandung masih dilakukan. Officelink mampu memunculkan inovasi karena memiliki potensi keuntungan dan tantangan di kedua belah pihak. Officelink dapat diwujudkan dengan seminar, publikasi ilmiah, beasiswa, pameran, kolaborasi penelitian, pelibatan mahasiswa dalam proyek, magang, beasiswa kuliah untuk karyawan, pekerjaan untuk alumni universitas atau peneliti serta kuliah tamu.

 

 

 

 

 

Narasumber,

 

 

Marsma TNI Dr. Ir. Gita Amperiawan, M.Sc., M.B.A.